Cukup mengejutkan bahwa angka pelaku dan korban kekerasan pada anak di Indonesia meningkat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setiap triwulan dan didapati pada triwulan pertama 2016 ada 645 kasus pelanggaran hak anak sampai 15 Maret 2016. Bila Dibandingkan dengan tahun lalu, mengalami kenaikan 15 persen.

Dalam sejumlah penelitian di Indonesia seperti yang disampaikan Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito Wirawan, yang paling banyak melakukan kekerasan kepada anak justru adalah para orangtua. Seperti pada kasus penelantaran 5 anak yang ditemukan dalam kondisi kelaparan di Cibubur sekitar bulan Juni tahun 2015, pelakunya adalah orang tuanya sendiri. Terkadang para orangtua menganggap tindakan yang dilakukannya bukan merupakan bentuk kekerasan, melainkan proses untuk mendisiplinkan anak.  Namun pernyataan tersebut sebenarnya dapat memberikan dampak negatif bagi si anak. Tindak kekerasan yang diterima anak dan tidak disadari oleh para orang tua sebetulnya tidak hanya berbentuk fisik, tapi dengan membentak anak, mengancam, memaksakan kehendak, atau membanding-bandingkan anak dengan anak lain juga merupakan suatu bentuk kekerasan yang tidak bisa ditoleransi. Hal ini dikemukakan oleh Muhammad Ihsan, sebagai Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak (Satgas PA) Indonesia.

Sebaiknya dalam menasihati anak hendaknya para orangtua menggunakan cara-cara yang bijaksana, misalnya dengan tutur kata yang baik tanpa bentakan atau makian tanpa merendahkan diri anak, menjelaskan alasan yang logis, tanpa menggunakan ancaman, tidak memarahi anak di depan umum. Jadi, dengan menasihati anak dengan bijaksana diharapkan anak bisa mengerti kesalahannya tanpa sang anak merasa dendam, rendah diri (minder), ataupun meniru hal yang tidak baik. Perilaku anak akan mencerminkan perilaku dan cara didik orang tuanya.