PRE-EKLAMPSIA & PENGAPURAN PLASENTA
Hari itu, Selasa 30 September 2008, aku pergi ke dokter kandunganku untuk pemeriksaan rutin. Saat itu usia kandunganku memasuki minggu ke-34. Tanpa perasaan apa2, aku pun dan suami segera masuk ke ruang periksa saat namaku dipanggil. Sang perawat cantik, Suster Mila, menyambutku dengan senyum ramah. Dia pun segera mengecek tekanan darahku. Betapa kagetnya aku, ternyata tekanan darahku melebihi batas normal. Ternyata kakiku yang bengkak selama ini adalah karena gejala pre-eklampsia. Kemudian, sang dokter memeriksa kondisi janinku, dari sana muncuk pula ketidakberesan dalam kandunganku. Plasentaku sudah tua, sudah mengalami pengapuran. Kata dokternya jika sudah mengalami pengapuran, maka plasenta kinerjanya akan menurun. Padahal plasenta sangat dibutuhkan jabang bayi. Sehingga dokter pun menyarankan saya untuk rekam jantung. Untuk mengetahui kondisi jantung janin. Dan ternyata (lagi) hasilnya kurang menyenangkan. Menurut analisa dokter bayiku mengalami takikardi. Yang istilah orang awamnya jantung berdebar-debar. Mungkin karena faktor plasenta, sehingga supply oksigen kurang.
DIPAKSA KELUAR
Karena kondisi yang demikian, dokter memberikan keputusan bayiku harus segera dikeluarkan, karena jika harus menunggu sampai waktu semestinya (perkiraan awal 7 November 2008)dokter memperkirakan kondisi bayiku akan semakin memburuk. Karena takut terjadi apa2, aku dan suami pun setuju untuk segera mengeluarkan bayi kami meskipun saat itu aku masih belum ada tanda-tanda apapun, pembukaan satu saja belum. Aku pun segera berbaring di tempat tidur dan dipasang infus yang telah diberi obat perangsang kontraksi. Menurut perkiraan dokter paling lama 2x24 jam aku sudah bisa melahirkan.
TAK KUNJUNG KONTRAKSI
Rasanya bosan sekali berada di ruang bersalin. Apalagi saat itu adalah malam takbiran. Rasanya ingin sekali bisa menikamati indahnya malam takbiran. Keesokan harinya, Hari Lebaran, aku masih harus berbaring di tempat tidur. Tak ada tanda2 kontraksi, semuanya masih biasa saja. Setiap ada pasien baru datang, diperiksa, tak lama kemudian melahirkan. Setiap hal itu terjadi aku langsung sedih, kapan giliranku. Aku sudah bosan disini. Aku pun minta pulang tapi tidak diijinkan. Hari kedua tanpa reaksi, hari ketiga tak kunjung reaksi, hari keempat juga tak kunjung kontraksi. Sampai aku benar-benar putus asa. Aku sudah lelah. Suamiku pun terus menemaniku, memberikanku semangat untuk terus bersabar. Tapi hati ini selalu menangis jika mendengar tangis bayi dari pasien lain. Kapan tiba waktunya, bayiku yang kan menangis. Padahal aku sudah disini lebih dulu daripada mereka.
KETUBAN PECAH
Pas adzan maghrib, di hari ke-empat, ketubanku pecah. Ada secercah asa dalam hatiku. Bayiku akan segara lahir, ucapku lirih. Air ketuban terus mengalir semabari memberikan rasa nyeri di perutku. Rasa nyeri itu semakin lama semakin sakit. Aku tidak sanggup menahan rasa sakit itu. Suamiku yang menjagaku kala itu juga hampir pingsang, kerena sejak siang dia tidak makan, terpaksa ibu mertuaku yang mendampingiku. Ternyata, menurut suster, rasa sakit kontraksi buatan/injeksi jauh lebih sakit dibandingkan kontraksi alami. Sehingga suster memberikanku suntikan penahan rasa sakit. Perlahan-lahan rasa sakitnya agak berkurang, aku pun bisa sedikit beristirahat.
Shubuh pun menjelang, sudah sepuluh jam aku menahan rasa sakitku. Ku berharap sebentar lagi tiba waktunya aku melahirkan. Ternyata aku salah, saat suster jaga memeriksa, aku masih pembukaan 2. Astaghfirullah...sudah 10 jam tapi masih pembukaan dua. Reaksi obat pengurang rasa sakit tak mampu membendung rasa sakitku. Aku terus merintih sambil meremas remas tangan suamiku. Beruntung aku punya suami yang begitu sabar dan pengertian. Dia terus memberiku semangat dan menuntunku untuk menarik napas saat kontraksi datang tak peduli tangannya sakit saat aku remas sekuat tenaga. Di tengah2 kesadaranku aku lihat jam dinding yang menggantung tepat di dapanku. Jam 6 pagi...12 jam sudah. Aku sudah mulai kelelahan menahan rasa sakit. Ku minta suster untuk mengecek pembukaanku, ternyata masih pembukaan 4. Aku benar-benar hampir putus asa, aku hampir menyerah. Kenapa begitu lambat pembukaannya, aku sudah lelah. Rintihku dalam hati. Kontraksi terus berlanjut, sakiiiit sekali. Aku bahkan hampir berteriak. Suster kembali memeriksa pembukaanku, "pembukaan 7 berati kurang 3 jam lagi, karena 1 pembukaan butuh 1 jam" kata suster tersebut. Dengan sedikit tenaga aku memalingkan wajah untuk melihat jam dinding, jam 8, berarti jam 11 aku baru bisa melahirkan. Masya Allah...aku sudah tidak kuat. Aku pun terus mengerang kesakitan, aku pun sempat mengucapkan kata menyerah kepada suamiku. Namun suamiku terus memberiku semangat, mencium keningku setiap aku bisa melewati kontraksi demi kontraksi. Akhirnya sudah pembukaan 10, dokter dan dua orang suster menyiapkan proses persalinanku. Aku berusaha untuk mengejan, tapi menurut susternya cara mengejanku salah. Aku berusaha dan terus berusaha. Namun akhirnya aku terpaksa menggunakan alat bantu, Vacum. Tepat jam 10.15, tanggal 04 Oktober 2008, jerit bayiku memecah keheningan kala itu. Tubuhnya kecil dan merah. Segera suster membersihkannya. Dari balik tirai aku mendengar suster berteriak 2.200. Astaghfirullah, bayiku beratnya cuman 2,2 kg, pikirku. Tapi tak apalah, yang penting bayiku lahir dengan sehat, selamat dan sempurna. Ayzka Malika Zhafira, begitulah namanya. Aku sangat menyayanginya.
Edit blog
Ditampilkan sebanyak : 2245