Setelah 35 Tahun itu,…
Ketika sesuatu itu ada, ia seperti tiada arti
Ketika sesuatu itu ada, ia selalu tersakiti
Ketika sesuatu itu pergi, artinya begitu terasa
Ketika sesuatu itu pergi, seolah ingin membahagiakannya
Seandainya,..oh seandainya,...
Tubuhku menggigil terasa dingin menusuk seluruh sendi tulang tubuhku. Sangat sakit, aku seperti berada di ketinggian beberapa ribu meter dikelilingi gunung es dan gundukan salju. Napasku yang melaju cepat seperti habis dikejar anjing gila yang galak. Tubuhku lemah pasca melahirkan anak laki-lakiku di saat usiaku sudah melangkah di angka 40 tahun.
Malu rasanya melahirkan di usia yang sudah tak muda lagi, bidan sering mengingatkan bahwa kehamilan di usia di atas 35 tahun atau usia yang masih terbilang muda adalah kehamilan dan persalinan yang sangat membutuhkan ekstra perhatian. Selain karena faktor Mortalitas yang terbilang tinggi pada usia tersebut, juga kasus double riskan pada kehamilan di atas 35 tahun, mulai dari diabetes, preeklamsia hingga hipertensi.
Namun itulah yang terjadi padaku, aku justru melahirkan anak ke enamku di saat cucuku sudah berjumlah dua orang. Terkadang terdengar gurauan tetangga-tetanggaku yang terang-terangan mengejek kehamilanku ini.
/” lu mah getol banget mpok,..kayaknya baru kemaren cucu lu lahir, nah sekarang elu yang mau brojol bae”/ rasanya telingaku gatal mendengar ocehan mulut-mulut yang senang gosip itu menertawakanku. Aku hanya bisa diam tiap kali mereka mengejek kehamilanku. Oh Tuhan, andai saja aku bisa memilih tentu aku tak ingin melahirkan untuk kesekian kalinya ditambah besarnya beban yang kupikul sendiri.
Namun aku ingat kata-kata seorang ustadzah yang membesarkan hatiku pada sebuah pengajian mingguan di kampungku, bahwa tiap anak itu telah ditentukan Allah tiap-tiap rezkinya dan seseorang itu tidak akan meninggalkan dunia sebelum memenuhi semua rezeki yang telah ditetapkan Yang Maha Pemberi.
Saat itu pukul 1 dini hari. Tentu semua anggota keluargaku tengah tertidur pulas, aku merasakan mulas yang luarbiasa, kontraksi hebat menandakan bayiku akan segera lahir ke dunia ini. Sambil menahan sakit, aku berjalan perlahan ke kamar anak laki-lakiku Awan yang terlahir tuna rungu.
”Awan, bangun..kutarik kakinya perlahan, kulihat dia perlahan membuka matanya. Kuberi isyarat dengan menunjukkan jari telunjukku ke rumah tetangga kami, lalu kuusap perutku yang semakin mulas. Gerakan tanganku cepat memberikan instruksi pada Awan agar meminta bantuan menjemput bidan desa untukku. Awan mengangguk angguk dengan mimik wajah yang sangat khawatir, kulihat dia setengah berlari mencari bantuan.
Sejam berlalu Awan juga belum kembali, pembukaan demi pembukaan terus berjalan, rasa sakit akibat kontraksi semakin hebat, setengah berdiri dan hampir jongkok aku menunggu bidan datang. Keinginan untuk mengejan juga tak terbendungkan lagi. Semakin kuat dan kuat. Bayiku ingin segera keluar dari dalam hangatnya rahimku. Kucari ketenangan hati dengan perlahan-lahan menarik napas menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu membuang karbondioksida perlahan lewat mulut, sehingga rasa sakit yang teramat itu terasa lebih ringan.
Aku mengejan sekuatnya, setelah hampir 3 jam menunggu bidan yang belum juga datang. Suara tangisan bayi kecilku memecah kesunyian pagi menjelang fajar. Tubuhnya kecil dan begitu dingin, bekas air ketuban dan darah masih melekat di tubuhnya bahkan mengering. Bayi kecilku laki-laki lahir di pukul 4 pagi tanpa bantuan siapapun. Tali plasentanya pun belum digunting, tubuh kecilnya juga belum dimandikan air hangat. Tubuhnya kedinginan, agak sempoyongan aku menarik kain panjang dari dalam lemari untuk menyelimutinya, hingga akhirnya dia tertidur pulas di pangkuanku.
Perlahan airmataku berjatuhan, bukan karena sakit yang kurasakan. Namun karena kesendirian yang merayapi perlahan relung-relung hatiku yang dalam. Suamiku, ayah dari anakku memilih menginap di kebun kami, justru di saat kehamilanku semakin besar. Bukannya memberikanku perhatian, malah memberikanku kegalauan yang semakin menjadi.
--------------
Aku seorang kuli cuci setrika di sebuah komplek perumahan dekat pemukiman kampungku. Setiap hari aku harus selalu datang ke rumah beberapa orang majikanku sebelum jam 7 pagi, karena aku harus menyuci dan menyetrika di beberapa rumah sekaligus. Profesi ini sudah aku lakoni semenjak kelahiran anak pertamaku.
Suamiku yang sering ku panggil ”Aki”, laki-laki yang menikahiku saat aku sudah menjadi janda diusia 17 tahun. Pernikahanku yang pertama hanya bertahan satu setengah tahun, terus terang aku belum siap untuk menikah saat itu, sikapku yang masih terlalu kekanak-kanakan membuat perceraian itu terjadi. Aku punya 1 orang anak dari suami pertamaku, kegagalanku berumah tangga dengan suamiku terdahulu membuatku sering bersikap lebih sabar menghadapi sikap aki. walaupun terkadang hatiku sangat jengkel dengan sikapnya yang sangat tidak peduli apalagi proaktif bekerjasama denganku mendidik anak dan memenuhi kebutuhan kami.
Aku tinggal di tengah kota Jakarta, namun kampungku semakin terpinggir oleh banyaknya pendatang setiap tahunnya ke Jakarta. Walaupun banyak pendatang, namun tetap saja pola pikir orangtuaku dan beberapa orangtua lainnya di kampungku tak berubah, persoalan pendidikan untuk anak tidak begitu penting bagi mereka. Bahkan aku dinikahkan di usia 14 tahun.
Di awal pernikahan kami, Aki sangat baik dan manis. Namun Aki berubah setelah kelahiran anak pertama kami. Dia menjadi kasar dan dingin, semua kemesraannya dulu seperti menguap entah kemana. Mungkin bagi aki kemesraan itu hanya berlaku untuk pasangan di masa bulan madu saja. Aki tak pernah mengerti bahwa kehidupan berumahtangga adalah sebuah pelajaran seumur hidup, bukan hanya urusan saling memberi dan menerima. Aki tak pernah tahu bagaimana mesranya Rasulullah memperlakukan istri-istrinya, memanggil Aisyah r.a dengan Humaira, oh sungguh romantisnya Rasulullah hingga akhir hayatnya.
Setiap hari Aki hanya pergi ke kebun dan mencari rumput untuk pakan kambingnya, saat kambingnya sudah laku terjual maka seluruh uangnya dibelikan beras untuk jatah makan kami sekeluarga 1 bulan. Jika beras telah habis maka dia akan membelinya lagi dengan sisa uang yang ada. Seolah-olah telah terselesaikan tugasnya menjadi kepala keluarga dengan menyediakan stok beras di rumah, lalu dengan tenang dia hanya menghabiskan waktunya dengan tidur-tiduran seharian di rumah tanpa mau peduli dengan kebutuhan sekolah anak-anak kami.
Gaji sebagai seorang kuli cuci sungguh tak mencukupi 3 orang anakku yang masih sekolah. Sementara 3 orang anakku yang lainnya sudah berumahtangga, kebutuhan hidup mereka juga sangat pas-pasan. Rasanya berat hati ini untuk meminta bantuan pada anak-anakku yang lainnya. Akhirnya kebutuhan sekolah dan makan sehari-hari ditanggung sepenuhnya di tanganku. Berulang kali mulutku lelah untuk meminta suamiku mencari pekerjaan tambahan atau menjual hasil kebun kami ke pasar. Tapi aki tetap tak berkutik dan tak berubah.
/”Ki,..kepala keluarga itu bukan aku, aku istri Aki yang seharusnya merawat anak, mendidik dan menjaga harta yang Aki dapat. Kenyataannya sekarang semua orang bisa melihat, aku bukan hanya istri tapi juga sekaligus kepala keluarga yang menyedihkan”/
Aki terbiasa diam setiap kali aku mengomelinya. Dia tetap dingin dan marah-marah jika aku tak sempat masak untuk makan siangnya, atau marah-marah saat baju-baju belum sempat dicuci. Terkadang aku menyesali kehidupanku seperti ini, ingin rasanya aku meminta cerai padanya. Tapi aku memilih bertahan demi anak-anak dan rasa malu pada orangtuaku, karena aku tak ingin gagal lagi dalam pernikahanku ini. Namun inilah hasil dari keputusanku, aku harus selangkah lebih tangguh dari wanita-wanita yang lain.
Banyak hal yang mengganjal di hatiku, namun tak pernah sedikitpun sungkan kuungkapkan ke aki, walaupun dengan caraku sendiri yaitu omelan. Bahwa aku lelah menjadi istrinya yang harus menanggung segala hal sementara aki hanya sebagai penonton dalam rumah tangga kami. Omelanku bahkan tak berharga buat aki. Berbicara dengan lemah lembut di depan aki ibarat sedang bicara dengan batu, diam tanpa jawaban.
-------------
Hari ini aku mendapatkan pekerjaan tambahan menjadi pembantu rumah tangga dan mengurus seorang bayi dan ibunya yang baru melahirkan. Aku menerima pekerjaan itu karena biaya sekolah ketiga anakku yang tidak bisa ditunda-tunda seperti sebelumnya. Terkadang harus membayar uang sekolah Yuni, tapi nunggak dulu pembayaran sekolah Anggun dan Ipung. Ah, sungguh berat biaya sekolah dan hidup di Jakarta ini.
Aku memanggil majikanku itu Adek, masih sangat muda seusia dengan anak ketigaku. Karena mengurusi rumah sekaligus mengurus bayi, terkadang aku harus pulang ke rumah di sore hari. Tak terasa sudah hampir sebulan aku bekerja sebagai PRT. Setiap kali aku pulang aki selalu cemberut dan marah-marah. Mungkin karena sudah begitu faham karakter suamiku, aku menjadi biasa dengan kata-kata yang diucapkannya. Terkadang aku diam tak mengomentari kata-katanya. Terkadang aku pura-pura tak acuh dengan nada ketus dari bibirnya.
/”kenapa lu, selalu pulang sore...gua mau makan kagak ada makanan. Nah sekarang tiap kali pulang, selalu mandi ampe diguyur tuh satu badan. Habis junuban lu??’/
Aku yang sedang mandi langsung terkejut dengan tuduhan aki. Tulang-tulang di sekujur tubuhku yang terasa penat semakin terasa penat dan nyeri dengan perkataan aki. Apa yang difikirkan oleh suamiku ini. Bukankah aku sudah memberitahukan bahwa aku mendapat pekerjaan baru sebagai PRT. Tentu seharian aku penuh peluh dan kotor, apa aki tak faham tentang pentingnya Thaharah sebelum beribadah. Oh Tuhan kepalanya dipenuhi oleh bisikan-bisikan syaitan. Bahkan sekarang dia berani menuduhku, sungguh terlalu di saat usia pernikahan kami di tahun 35 tahun.
”Ki, engga usah nuduh-nuduh gua yang macam-macam, gua kerja bertaon-taon Cuma buat kebutuhan kita ama buat biaya bocah-bocah sekolah. Kalau aki ga setuju gua jadi pembantu ampe pulang sore, gua berhenti aja. Tapi aki kudu ingat semua kebutuhan anak-anak aki yang kudu nyari”
Kulihat wajahnya tegang saat aku menantang tuduhan yang ditujukan nya kepadaku. Wajahnya merah mungkin marah atau juga menahan malu karena tak mempercayai aku yang telah bertahun-tahun tetap sabar menjadi istrinya.
”ya udah,..terserah elu aja”...aki berlalu dari hadapanku dengan jawaban yang sangat menyakitkan hatiku. Terkadang aku berharap suatu saat dia mengambil sebagian beban di pundakku, tapi jangankan semua beban sedikit beban saja tak pernah berkurang dari pundakku. malah aki menambah beban perasaanku dengan menuduhku yang bukan-bukan. Mungkin ini akan menjadi mimpiku yang belum terwujud. Kenyataannya aku justru semakin memikul beban cemburunya karena aki telah lama kehilangan kepercayaan dirinya sebagai suami dan kepala keluarga.
Aku hampir menangis di depan majikanku. Menceritakan curahan hatiku dan kegelisahan jiwaku selama hampir 35 tahun ini. Menurut majikanku aki memang telah hilang rasa percaya diri, terutama saat semua hal ditangani olehku. Merasa kalah denganku dan lingkungan di sekitar kami. Sehingga muncullah rasa curiga berlebihan dan cemburu. Masih untung dia tak pernah berbuat kasar dan memukulku, hanya ucapannya yang sering menyakitkan di hatiku. Tapi bagi majikanku itu tetap bagian kekerasan dalam rumah tangga yang menyerang kejiwaan seseorang.
/”Mpok harus ngomong ama aki kalo aki udah kelewatan, kalo emang aki ga bisa membahagiakan mpok secara materi setidaknya aki harus jaga perasaan mpok sebagai istrinya”//majikanku memberikan saran yang menguatkan hatiku.
Semenjak perselisihanku dengan aki, badanku benar-benar tidak sehat. Flu yang menyerangku sudah hampir dua minggu ini belum juga hilang. Terkadang mataku berkunang-kunang. Namun mengingat anak-anak, aku harus tetap bekerja. Mengingat tanggung jawab yang berada di pundakku membuatku menguatkan diri dan tubuh ini.
Majikanku sangat baik. Dia mengantarkanku ke dokter, memang seperti yang kuduga, aku harus istirahat total. Dokter menyebutkan beberapa gejala penyakitku disebabkan oleh beberapa penyakit, bisa jadi sudah komplikasi, begitu dokter memberi keterangan untuk penyakit yang telah lama menggerogoti tubuhku. Aku tidak begitu faham dengan istilah-istilah kedokteran yang disebutkannya tadi.
Aku berfikir mungkin penyakit asam lambungku semakin berat. Ditambah pula penyakit-penyakit lainnya seperti asam uratku. Bekerja terlalu berat selama bertahun-tahun, ditambah pula faktor fisikku yang selalu tak pernah sehat semenjak kecil, karena imunitas tubuhku kurang baik. Beberapa kali aku merasakan mual yang hebat, rasanya kepalaku berputar kencang, seperti berada dalam biduk yang diterjang ombak besar. Oleng ke kiri dan ke kanan sehingga aku lemas tak berdaya.
Hari ini aku memaksakan masuk kerja, tapi aku dipaksa pulang oleh majikanku karena kondisiku belum juga membaik. Aku kembali ke rumah dengan tubuh lemah. Bibirku terasa bergetar, wajahku pucat membeku seperti kehilangan pasokan oksigen yang besar. Aku termangu menatap seluruh jari jemariku membiru. Ada apa dengan tubuhku. Ada apa dengan kepalaku yang semakin terasa berat.
Sudah hampir tiga hari, aki tak pernah menjawab salam apalagi tegur sapa denganku. Tiap kali aku mempersiapkan makanan untuk makan siangnya, aki selalu menjawab dengan ketus.
//”gimana suka elu aja”//hatiku terkadang telah terbiasa dengan sikap ketus aki. Namun semenjak dia mulai mengoreksi kesetiaanku padanya tempo hari telah membuat hatiku menjadi hancur. Namun kini semakin remuk ditambah keadaan tubuhku yang semakin lemah.
Besok tepat 35 tahun perkawinanku dengan aki. Ternyata setelah 35 tahun ini tak pernah ada yang istimewa di tanggal itu. Kami tetap sibuk dengan diri masing-masing, bahkan aki tak pernah bertanya mengapa aku memasakkannya masakan yang berbeda di hari itu. Baginya itu hanya tanggal, dan sikapnya tetap tidak berubah.
Malam ini Tubuhku semakin lemah saat kudengar suara adzan shubuh dari surau yang letaknya tak jauh dari gubuk reot kami. Tubuhku sempoyongan, menjangkau timba yang dihubungkan dengan katrol sumur. Aku terjatuh, terduduk tak bergerak ”Allahu Akbar”,..hanya itu yang terucap di bibirku setelah semuanya terasa gelap dan berhenti.
--------
//”maafin Yuni yang belum bisa membantu emak, Cuma sering nyusahin emak tapi bukan berarti emak boleh pergi begitu cepat”//,..Yuni menangis terisak bersama kedua adiknya persis duduk di samping mayat wanita paruh baya yang dipanggilnya emak. Wanita itu membanting tulang menjadi istri sekaligus kepala keluarga. Hanya untuk satu hal, demi kebahagiaan anak-anaknya.
//”Walaupun emak ga pernah sekolah, tapi emak mau anak-anak emak semuanya sekolah yang bener, biar semua capek emak bisa terganti dengan nilai-nilai sekolah kalian yang bagus”//,..kata-kata wanita itu terus terngiang-ngiang di telinga Yuni. Sungguh besar cita-cita emak hingga akhir hayatnya masih tetap memikirkan keadaan anak-anaknya.
Laki-laki tua itu sedari tadi diam, terpekur menatap ke jasad wanita yang telah dinikahinya selama 35 tahun lalu itu. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya kehampaan yang terlihat dari sorot mata yang dalam itu. Tak sedikitpun ia beranjak dari jasad wanita itu. Sampai semua proses pemakaman selesai laki-laki tua itu masih tak beranjak dari nisan yang masih basah itu.
//”Maafkan aku istriku, maafkan aku karena tak pernah membuatmu bahagia selama hidup di sisiku”, Maafkan aku karena telah menyia-nyiakanmu selama bersamaku, Maafkan aku mungkin tiada maaf lagi untuk suami seperti diriku, Maafkan aku karena aku tak pernah mau mengungkapkan rasa cintaku padamu//perlahan kata-kata itu terucap dari bibir yang setengah bergetar menahan harunya perpisahan dengan sang istri.
Terkadang kita tak pernah menyadari sesuatu itu sangat berharga ketika ia ada di hadapan kita. Terkadang kita tak pernah mau memberi ketika ia ada di samping kita. Terkadang kita sering menyakiti di saat sesuatu itu begitu nyata di hadapan kita. Namun ketika waktu itu berganti, sesuatu itu telah tiada lagi. Kita hanya terpaku dengan kata-kata ”Seandainya masih ada waktu,...”. ”Seandainya waktu bisa terulang kembali”,..
Sebelum perasaan menyesal itu hadir, sebelum kata terlambat itu tertambatkan, sebelum segalanya tak mungkin lagi. Saat ini, sekarang juga, jangan pernah ragu untuk ungkapkan cinta pada seseorang yang kita cintai. Karena kita tak pernah tau, apa besok kita masih punya cukup waktu untuk mengatakannya lagi, atau apa kita masih punya banyak waktu untuk membuatnya bahagia di sepanjang usianya bersama kita, atau apakah kita masih punya kesempatan untuk menunjukkan sikap dan perasaan cinta yang kita miliki padanya. Sehingga ia tahu dan merasakan bahwa kita teramat membutuhkannya, bahwa kita teramat mencintai dan menyayanginya.
Untuk suamiku tercinta,..
Terimakasih tlah membuat segalanya indah,..
Untuk suamiku tersayang,..
Berjanjilah kau akan selalu membawa kami ke syurga
Ditampilkan sebanyak : 970