Seperti biasa, rutinitas pagi hari saya , tidak lupa menyapu halaman rumah, dan membiarkan si kecil Zaheed bereksplorasi dengan lingkungan sekitarnya. Menyapa si ‘ ipus’ yang sering merebahkan dirinya di kolong mobil di garasi, ataupun sekedar memanjat pagar sambil matanya lekat pada setiap orang yang lewat. Aktivitas itu biasanya saya mulai setelah urusan sarapan pagi sudah rapi tertata di meja.
Tetapi didepan rumah, melintaslah seorang perempuan muda dengan bayi didalam kereta dorongnya.
“Wah,adik udah jalan-jalan, ya…? Nggak sama mama, sayang ?”..sapa saya ketika dia berhenti mengikuti sapaan Zaheed yang memanggilnya dengan bahasa khas batita usia 1,5 tahun.
“Mamanya sudah pergi kerja, bu. Baru pulang jam 8 malam nanti. Tasya baru umur 8 bulan, bu. Minum susunya formula. Kalau ga diajak jalan-jalan gini, kadang rewel dan rewelnya keterusan. Saya sampai sering kewalahan…Gimana, ya bu..supaya saya shabar..kadang nggak sadar saya suka mencubitinya…” tanpa saya tanya, si “mbak” tasya berkeluh kesah dengan tugasnya.
Ups..apa ? mencubitinya ?
” Shabar, mbak.namanya juga anak kecil. belum bisa bicara dan memang polahnya kadang sering tidak kita mengerti. Tapi, anggap dia sebagai adik, mbak. Jangan dimarahi..” Nasihat saya , yang dijawab dengan senyum yang sedikit kecut.
Bayi 8 bulan menangis ? Bukankah itu hal yang wajar. Mungkin ia gelisah.Mungkin ia lapar, celananya basah atau sedang mau tumbuh gigi. Mungkin juga ia menangis tanpa sebab yang jelas, selain butuh dekapan, kecupan sayang atau rasa aman. Bukankah untuk bayi, menangis adalah salah satu caranya berkomunikasi.
Saya teringat jika si kecil Zaheed saya rewel. Selama beberapa detik saya berusaha mencari penyebabnya. Saya ambilkan mobil2an, ia tetap menangis. Saya ambilkan kue favoritnya, ia tetap menangis. Bahkan saya setelkan nasyid kesukaannya, tangisannya makin menjadi. Saya mencoba beristighfar dan menyebut namanya..mohon diberi petunjuk kepada Allah yang Maha mengerti setiap gundah dari makhlukNYa yang terkecil sekalipun. Serta merta saya menatap bola yang teronggok di bawah tangga.
” Ini ?” tanya saya.
Zaheed pun mengangguk dan menghentikan tangisannya. Alhamdulillah, kebahagiaan saya memang hanya beberapa detik. Ibu Tasya, si bayi 8 bulan tadi, sempatkah ia mengalaminya ?
Jika usai saya tunaikan shalat Dhuha, dan selesai menyiapkan makan siang, Saya pun asyik menemani Zaheed melatih motoriknya, berputar-putar, menendang bola, mencorat-coret dengan pensil sang kakak, diiringi murottal Ali Bashfar yang jadi menu utamanya. Ia pun kadang menunjuk majalah atau buku yang saya hamparkan di hadapannya dengan maksud merangsangnya bertanya apapun dengan kemampuan yang dimilikinya. Ketika saya tanyakan.” mana gambar mobil, sayang ? Diapun menunjuknya dengan benar.Sayapun tersenyum dan menyahutnya,’ Pintar..”. Dan iapun tersenyum lebar dengan sorot mata yang meniadakan semua cahaya di dunia.
Usai letih bermain dan berceloteh, Zaheed pun terlelap dalam tidurnya hingga azan Dzuhur berkumandang. Dan sayapun mulai menemui komputer, untuk mengerjakan beberapa artikel, tulisan ataupun mengisi blog saya. Sesekali, ia pun saya bawa menghadiri forum ilmiah ataupun kretaivitas lain.
Hampir setiap hari, sayapun menjemput sang kakak pulang dari sekolah. Saya membantunya melepas sepatu setibanya dirumah, kaus kaki dan seragam sambil mendengarkan dia bercerita. Ada temannya yang memukulnya, meminta bekal sekolahnya, atau mendengar dengan bangganya dia membantu sang teman menuliskan nama di lembar tugasnya. Ia juga bercerita tentang ibu guru yang punya banyak cerita, atau baru saja menonton VCD si Tupi dan Pingping, yang sama dengan yang dimilkinya dirumah. Pokoknya. tentang keseluruhan dunia kecil yang mulai digelutinya.
Saya melihat kehidupan tengah berproses di hadapan saya tanpa seorangpun bisa mencegahnya. Suatu proses yang bisa sangat menakutkan, atau bahkan bisa menjadi sanagat indah justru karena Allah lah yang menyatakan keterlibatanNya. Sepertinya kehidupan hampir sempurna seandainya saya tidak diingatkanNya bahwa masih banyak ibu-ibu yang lain. Dan Ibu bayi Tasya , 8 bulan itu , bagaimana ?
Kejadian yang sebaliknya pun bukan tidak pernah terjadi. Anak sulung saya, Za yang sedang memasuki fase negativistiknya, sering menolak kebiasaan secara tiba-tiba. Jika saya berusaha memberikan pengertian, dia pun sudah sangat pintar menawar supaya tidak makan siang, atau pernah dia minta libur TPA dulu. Kebiasaan ‘ asing’ yang didapatnya dari sekolah, seperti memukul atau membentak adiknya pun juga sempat membuat saya terperangah, karena saya menghindari cara-cara mendidik seperti itu. Saya tahu, itu adalah resiko dari proses bersosialisasinya seorang anak dengan anak-anak yang lain. Tapi, saya pun sering sampai menangis dibuatnya.
Mungkin, untuk hal ini, Ibu sang bayi Tasya, boleh merasa bebas . tapi sayapun menyaksikan ketika Za terdiam, bahkan minta maaf dengan takut-takut. Lalu, kami berbaikan dan merasa lebih saling mengerti.
Saya tidak tahu, apakah konflik seperti ini menjadi keuntungan jika tidak pernah dialami oleh seorang ibu ?
Ditampilkan sebanyak : 734