Bunda...bhaya g sih kalo saat hamil kt kna herpes simplex..dl sblum hmil kalo kna herpes gini lgs sy kasi acyclovir,tp krn lg hmil jd mikir2...mau ke dsog kok herpesny cm kcil2 & sdkit,jd kykny sepele gitu...lbih baik lgs kasi salep ato diemin aja ato konsul dl ya bund....
sebaiknya segera dikonsultasikan ke dokter.
alasannya dapat anda baca di bawah ini.
tolong di baca perlahan supaya jelas.
SERANGAN HERPES SELAGI HAMIL
Ribut dan saling menyalahkan pasangan, tak akan menyelesaikan masalah. Yang penting, tangani segera karena berdampak buruk pada janin.
Menurut dr. Irsyad Bustamam, SpOG, siapa pun yang didiagnosa terinfeksi penyakit ini umumnya akan membunyikan genderang perang dengan pasangannya. Apalagi bila yang bersangkutan merasa hidupnya selama ini "bersih". Pasalnya, lanjut dokter kebidanan dan kandungan yang berpraktek di RSIA Hermina, Jatinegara ini, herpes termasuk penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.
"Kendati di kepustakaan disebut ada beberapa cara penularan lain semisal lewat handuk, alat cukur, sisir, atau benda-benda lain yang dipakai bersama, angka kejadiannya kecil sekali. Sebab, virus penyebabnya hanya bisa hidup di tubuh manusia. Di luar tubuh, virus itu cepat mati."
Herpes genitalis, disebut juga herpes simpleks, sebetulnya merupakan penyakit kulit yang terdapat di perbatasan antara kulit dan selaput lendir. Penyebabnya adalah virus herpes simpleks (VHS) yang bisa dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama yang umumnya mengenai segala usia dan memilih bersarang di pinggang ke atas, kedua yang terutama mengenai kalangan dewasa dan memilih pinggang ke bawah sebagai tempat sasaran infeksinya. Namun akibat pola hubungan seksual yang begitu bervariasi, bisa saja lokasi terjadinya infeksi VHS terbolak-balik. Semisal tipe 1 ditemukan di daerah genital dan anus, sedangkan tipe 2 di sekitar bibir atau di langit-langit.
FAKTOR PEMICU
Begitu masuk ke dalam tubuh untuk pertama kalinya, VHS akan membentuk masa inkubasi atau infeksi primer yang biasanya berlangsung sekitar 2-5 hari setelah kontak seksual dengan penderita atau pengidap VHS. Di saat ini, karena tubuh belum membentuk antibodi, yang muncul adalah gejala mirip flu seperti demam, badan terasa lemah, pening dan nyeri persendian/pegal-pegal di sekujur tubuh, serta mata terasa perih. Hingga tanpa pemeriksaan laboratorium, infeksi VHS seringkali sulit dibedakan dengan flu.
Yang membedakan adalah timbulnya gejala lokal di daerah yang terinfeksi berupa bintil-bintil kecil yang gampang pecah.Bintil-bintil berisi cairan bening ini bila dibiarkan akan berkembang menjadi bisul-bisul bernanah.
Ciri lain, bintil-bintil tersebut biasanya berkelompok, warna dasarnya merah sembab dan terasa nyeri sekali. Bahkan kalau sampai terkena saraf, yang bersangkutan tak bisa BAK lantaran luar biasa sakitnya. Jika tidak disertai infeksi tambahan, kulit tempat tumbuh bintil-bintil tadi akan tampak seperti sediakala jika tak digaruk. Sedangkan bila digaruk bisa meninggalkan jaringan parut.
Berlalunya infeksi primer tersebut akan diikuti dengan fase/masa laten. Yakni saat virus bersembunyi di simpul-simpul saraf. Masa laten ini berlangsung lama, meski tak bisa dipastikan seberapa lamanya. "Tergantung kondisi individu yang bersangkutan." Artinya, ada faktor-faktor tertentu yang menjadi pemicu. Seperti kurang tidur, dibebani pikiran berlebih atau stres, sedang menstruasi atau tengah hamil, sehabis melakukan hubungan seksual, kelelahan fisik, alergi obat-obatan/makanan tertentu, maupun sebab-sebab lain yang sampai sekarang tak diketahui pasti.
Kondisi-kondisi pemicu itulah yang kemudian membuat VHS bisa aktif lagi dan disebut fase kambuh atau recurrent. Kekambuhan ini bisa terjadi kapan pun dan sewaktu kambuh gejala yang diperlihatkan bisa ringan sekali atau malah kerap tak memperlihatkan gejala klinis sama sekali karena dalam tubuh sudah terbentuk antibodi. Alhasil, yang bersangkutan kerap terkecoh dan menganggap dirinya sudah sembuh. Padahal, sekali terkena, VHS akan selamanya bercokol di tubuh kita. Celaka, kan?
Hanya saja, imbuh Irsyad, faktor pemicunya sangat kasuistik. Artinya, ada yang karena alergi, ada pula karena sebab lain. Begitu juga kapan faktor pemicu tadi memunculkan fase kekambuhan tak bisa dipastikan. Cuma, aku Irsyad, angka kekambuhan pada orang hamil akan meningkat karena kondisi kehamilan sendiri membuka peluang untuk memunculkan kekambuhan. Sebab, selain terjadi perubahan hormonal yang drastis, selama kehamilan tubuh mengadakan perubahan sistem kekebalan. Terlebih bagi ibu hamil yang mengalami stres. Dengan kata lain, ibu hamil memang rentan terkena infeksi VHS.
BISA SEBABKAN KECACATAN
Sebetulnya, tegas Irsyad, VHS tak membedakan wanita dan pria dari belahan dunia mana pun serta tak memandang status ekonomi kaya ataupun miskin.
Hanya saja, dari penelitian yang pernah dilakukan di Skotlandia, misalnya, infeksi VHS hampir tak pernah ditemukan pada orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan angka kejadian pada wanita nakal atau pria yang gemar "jajan", meningkat 10 kali lipat. Itu sebabnya, wanita yang merasa dirinya "bersih" bisa saja tertular dari pasangannya yang bertipe petualang,
misal. Kalaupun si pria begitu yakin dirinya negatif, padahal bisa saja negatif itu lantaran hasil pemeriksaannya kurang akurat atau sebetulnya ia pengidap, namun VHS dalam tubuhnya sedang berada dalam masa laten.
Hingga bisa jadi sistem kekebalan tubuhnya tak memperlihatkan tanda tertentu yang bisa tertangkap oleh pemeriksaan laboratorium.
Nah, ketimbang ribut dan saling menyalahkan, lanjut Irsyad,
suami-istri amat disarankan untuk saling setia pada pasangannya. Selain jangan pernah coba-coba melakukan hubungan seksual dengan wanita/pria di luaran yang bukan tidak mungkin pernah pula berhubungan intim dengan orang lain yang terinfeksi VHS. Runyam, bukan?
Padahal seperti disebutkan di atas, ibu hamil karena kondisi kehamilannya termasuk kelompok yang rentan terinfeksi VHS, baik infeksi primer maupun recurrent. Sementara virus tersebut bisa masuk dalam sirkulasi darah janin melalui plasenta yang menghubungkan ibu dengan janinnya. Bisa juga melalui selaput ketuban, hingga bisa dibayangkan apa jadinya bila ada kebocoran atau malah ketuban pecah. Kemungkinan terjadinya infeksi VHS kian besar.
Celakanya, infeksi VHS pada janin bisa terjadi pada setiap tahapan kehamilan. Mulai dari trimester awal sampai trimester akhir. Di trimester awal, misalnya, secara teoritis di kehamilan usia 0-12 minggu, organ-organ penting sedang terbentuk, hingga kerusakan di masa ini, meski sekecil apa pun, efeknya jauh lebih besar ketimbang kerusakan sama yang terjadi di usia kehamilan selanjutnya. Namun secara umum, infeksi yang terjadi di trimester awal bisa menyebabkan janin mati yang berakhir dengan keguguran.
Sedangkan infeksi yang menyerang di trimester kedua dan ketiga memberi peluang pada janin untuk lahir prematur, kendati biasanya dibarengi dengan berbagai bentuk komplikasi kecacatan maupun kematian begitu dilahirkan. Dari catatan yang ada, lanjut Irsyad, mortalitas atau angka kematian pada bayi yang terinfeksi VHS terbilang tinggi, yakni sekitar 60 persen. Kendati begitu, tidak berarti semua janin yang dikandung oleh ibu yang terinfeksi VHS tak memiliki harapan untuk hidup, lo. Karena sekitar 40 persen sisanya berpeluang besar untuk hidup. Hanya saja 50 persen dari angka sisa janin yang hidup tadi akan mengalami kecacatan.
Bentuk kecacatannya itu sendiri bisa macam-macam. Apalagi infeksi VHS ini memiliki keunikan, yakni memilih daerah sasaran khusus yaitu susunan saraf pusat, organ-organ dalam tubuh, terutama hati dan mata yang bisa menyebabkan kebutaan. Namun, imbuh Irsyad, tak diketahui pasti mengapa VHS hanya memilih tempat-tempat tersebut.
TAK BISA TUNTAS
Deteksi dini VHS pada ibu hamil bisa diketahui dari tanya-jawab apakah ada riwayat kontak seksual dengan penderita/pengidap VHS. Karena bila kontak dilakukan saat penyakit pasangan sedang aktif, yang bersangkutan dipastikan bakal tertular. Sedangkan bila virusnya sedang dalam fase laten, belum tentu yang bersangkutan terinfeksi. Padahal memastikan kapan seseorang berada dalam fase laten atau kambuh, agak sulit mengingat secara klinis keduanya bisa saja tanpa gejala.
Yang bisa dijadikan pegangan sebetulnya adalah pemeriksaan laboratorium, semisal pap smear. Meski sebetulnya pap smear wajib dilakukan setahun sekali oleh wanita yang pernah melakukan hubungan seksual, tak peduli apakah dia terkena herpes atau tidak. Toh, bilang Irsyad, lewat pemeriksaan ini bisa sekaligus terdeteksi karsinoma serviks yang angka kematiannya paling tinggi di kalangan wanita.
Selain itu, lanjut Irsyad, deteksi VHS bisa dilakukan pula dengan biakan jaringan tubuh yang terinfeksi, menggunakan mikroskop elektron atau dengan pemeriksaan imunologis, yakni diperiksa kadar IgG dan IgM-nya. Dari pemeriksaan-pemeriksaan itulah dokter akan memutuskan terapi apa yang akan diberikan untuk ibu hamil yang terinfeksi. "Sayangnya", lanjut Irsyad, "sampai saat ini belum ada obat anti virus yang dapat menyembuhkan infeksi VHS secara tuntas tanpa kambuh-kambuh lagi."
Obat yang kini digunakan biasanya hanya sebatas agar virus yang berada di luar aliran darah, masa hidupnya lebih pendek alias cepat mati. Sementara virus yang sudah telanjur masuk ke dalam aliran darah seolah tak pernah bisa "tersentuh". Dengan begitu kejadian recurrent akan selalu ada.
Itulah mengapa penanganan pada janin (bila sudah terinfeksi) sampai sekarang belum memuaskan karena hanya pengobatan simptomatis alias menghilangkan gejalanya saja. Jenis dan dosis obat, cara, dan lama pemberiannya pun hanya ditentukan oleh dokter dengan memperhitungkan segi efektivitas dan keamanan bagi janin maupun ibunya. Sementara pengobatan lokal yang biasa dilakukan adalah pemberian salep, larutan garam khusus atau kompres rivanol untuk membersihkan bisul yang bernanah.
Tentu saja dalam memberikan terapi pengobatan, dokter akan selalu berpatokan bahwa setiap obat pasti berpengaruh pada janin. Artinya, bila memang memberi manfaat yang lebih besar dibanding efek sampingnya, obat tersebut akan tetap digunakan. Begitu juga sebaliknya.
Yang jadi masalah, hingga saat ini penggunaan obat-obatan untuk menanggulangi herpes, belum diketahui secara jelas efek negatifnya. Artinya, apakah akan merusak/memperparah kondisi janin yang sudah terinfeksi atau tidak. Sementara efek VHS pada janin sudah jelas, yakni 60 persen menimbulkan mortalitas dan 20 persen menyebabkan kecacatan.
Dengan memperhitungkan risiko itulah biasanya obat-obatan diberikan begitu seorang ibu hamil diketahui terinfeksi VHS, tanpa harus menunggu usia kehamilan tertentu. Ini jauh lebih baik dibandingkan bila infeksi tersebut dibiarkan semakin parah. "Jadi, begitu si ibu ketahuan terinfeksi, harus segera ditangani karena dokter pun harus berpacu melawan waktu. Kalau terlambat memberi obat, janin bisa keburu meninggal." TAK PERLU DITUTUP-TUTUPI
Sayangnya, peluang terjadinya kecacatan itu sendiri tidak bisa "diutak-atik" dengan pemberian obat-obatan tertentu karena sampai saat ini memang tidak ada yang bisa memprediksi, bagian tubuh mana pada janin yang diserang VHS dan seberapa parah serangan virus tersebut.
Memang, kecacatan biasanya akan terdeteksi dengan pemeriksaan USG karena kecacatan akibat infeksi umumnya menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Semisal hamil 35 minggu, namun hanya "terbaca" 30 minggu dari pantauan USG.
Manifestasi kecacatannya sendiri bisa macam-macam. Mulai dari kelainan kulit yang luas, kelainan organ tubuh terutama hati dan sistem saraf pusat yang bisa terlihat lewat kejang-kejang tanpa sebab, rendahnya kemampuan berpikir dan keterlambatan fungsi motorik halus dan kasar. Kendati begitu, tegas Irsyad, kehamilan yang disertai kecacatan dalam tingkat separah apa pun, sebaiknya tetap dipertahankan. Bukankah sebagai manusia, si kecil juga punya hak untuk hidup?
Sementara cacat berat yang mempertipis kemungkinan hidup, tetap juga harus didasari banyak pertimbangan bila kehamilan ingin diakhiri. "Enggak segampang membalikkan telapak tangan, karena harus melibatkan banyak ahli yang duduk dalam Komisi Etik Kedokteran. Bahkan dokternya langsung atau si ibu sendiri secara pribadi tak berhak memutuskan untuk menggugurkan kandungannya."
Pada kehamilan yang terinfeksi VHS dan sudah cukup bulan biasanya akan ditempuh tindakan seksio. Sebab, melahirkan spontan lewat vagina/jalan lahir yang terinfeksi justru akan lebih membahayakan janin karena terjadi kontak langsung dengan daerah terinfeksi.
Tentu saja, kata Irsyad, situasi dan kondisi apa pun pada ibu maupun janinnya harus diinformasikan pada pasien. Termasuk kemungkinan kecacatan apa saja yang bakal terjadi. Kalaupun ketahuan janin belum terinfeksi atau terancam bahaya sejauh itu, keluarga pasien tetap harus diberi tahu kemungkinan penularan apa saja yang bakal mengenai bayinya.
Pendek kata, apa pun yang ditemukan lewat berbagai pemeriksaan, tak boleh ditutup-tutupi sama sekali. Hanya saja mengingat hal ini merupakan sesuatu yang sensitif, dokter harus pandai-pandai memilih teknik penyampaiannya. Semisal disampaikan lebih dulu pada suami agar tak kelewat mengejutkan atau membuat si ibu syok berat.
"Pengobatan" Penunjang
Sampai saat ini, terang Irsyad, belum ditemukan makanan dan minuman apa saja yang bisa menangkal serangan VHS. Hanya saja pada mereka yang terinfeksi amat disarankan untuk mengkonsumsi makanan bergizi baik untuk meningkatkan kekebalan tubuhnya. Dalam kondisi prima semacam itu diharapkan ibu hamil tak berpeluang mendapat kemungkinan terburuk yang bakal menimpanya. Karena infeksi ini disebabkan oleh virus yang belum ada obatnya, satu-satunya jalan disarankan menjaga kondisi agar tidak terserang VHS.
Sementara kalau sudah ketahuan terinfeksi, sebaiknya berobat bersama suami/istri dan membatasi aktivitas seksual untuk memperkecil peluang penularannya karena bisa menimbulkan fenomena bola pingpong. Kalaupun tetap ingin menikmati aktivitas seksual amat disarankan untuk menggunakan kondom.
Sedangkan "pengobatan" umum yang disarankan adalah dengan menjaga kesehatan dan higienis tubuh serta istirahat cukup. Jika sudah terinfeksi, jaga daerah infeksi agar tak lembab dan tetap bersih karena kondisi kotor bisa menimbulkan infeksi sekunder. Selain jangan pernah menggaruknya yang hanya akan memperbesar peluang penularan ke tempat lain, bahkan ke orang lain.
sebaiknya segera dikonsultasikan ke dokter.
alasannya dapat anda baca di bawah ini.
tolong di baca perlahan supaya jelas.
SERANGAN HERPES SELAGI HAMIL
Ribut dan saling menyalahkan pasangan, tak akan menyelesaikan masalah. Yang penting, tangani segera karena berdampak buruk pada janin.
Menurut dr. Irsyad Bustamam, SpOG, siapa pun yang didiagnosa terinfeksi penyakit ini umumnya akan membunyikan genderang perang dengan pasangannya. Apalagi bila yang bersangkutan merasa hidupnya selama ini "bersih". Pasalnya, lanjut dokter kebidanan dan kandungan yang berpraktek di RSIA Hermina, Jatinegara ini, herpes termasuk penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.
"Kendati di kepustakaan disebut ada beberapa cara penularan lain semisal lewat handuk, alat cukur, sisir, atau benda-benda lain yang dipakai bersama, angka kejadiannya kecil sekali. Sebab, virus penyebabnya hanya bisa hidup di tubuh manusia. Di luar tubuh, virus itu cepat mati."
Herpes genitalis, disebut juga herpes simpleks, sebetulnya merupakan penyakit kulit yang terdapat di perbatasan antara kulit dan selaput lendir. Penyebabnya adalah virus herpes simpleks (VHS) yang bisa dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama yang umumnya mengenai segala usia dan memilih bersarang di pinggang ke atas, kedua yang terutama mengenai kalangan dewasa dan memilih pinggang ke bawah sebagai tempat sasaran infeksinya. Namun akibat pola hubungan seksual yang begitu bervariasi, bisa saja lokasi terjadinya infeksi VHS terbolak-balik. Semisal tipe 1 ditemukan di daerah genital dan anus, sedangkan tipe 2 di sekitar bibir atau di langit-langit.
FAKTOR PEMICU
Begitu masuk ke dalam tubuh untuk pertama kalinya, VHS akan membentuk masa inkubasi atau infeksi primer yang biasanya berlangsung sekitar 2-5 hari setelah kontak seksual dengan penderita atau pengidap VHS. Di saat ini, karena tubuh belum membentuk antibodi, yang muncul adalah gejala mirip flu seperti demam, badan terasa lemah, pening dan nyeri persendian/pegal-pegal di sekujur tubuh, serta mata terasa perih. Hingga tanpa pemeriksaan laboratorium, infeksi VHS seringkali sulit dibedakan dengan flu.
Yang membedakan adalah timbulnya gejala lokal di daerah yang terinfeksi berupa bintil-bintil kecil yang gampang pecah.Bintil-bintil berisi cairan bening ini bila dibiarkan akan berkembang menjadi bisul-bisul bernanah.
Ciri lain, bintil-bintil tersebut biasanya berkelompok, warna dasarnya merah sembab dan terasa nyeri sekali. Bahkan kalau sampai terkena saraf, yang bersangkutan tak bisa BAK lantaran luar biasa sakitnya. Jika tidak disertai infeksi tambahan, kulit tempat tumbuh bintil-bintil tadi akan tampak seperti sediakala jika tak digaruk. Sedangkan bila digaruk bisa meninggalkan jaringan parut.
Berlalunya infeksi primer tersebut akan diikuti dengan fase/masa laten. Yakni saat virus bersembunyi di simpul-simpul saraf. Masa laten ini berlangsung lama, meski tak bisa dipastikan seberapa lamanya. "Tergantung kondisi individu yang bersangkutan." Artinya, ada faktor-faktor tertentu yang menjadi pemicu. Seperti kurang tidur, dibebani pikiran berlebih atau stres, sedang menstruasi atau tengah hamil, sehabis melakukan hubungan seksual, kelelahan fisik, alergi obat-obatan/makanan tertentu, maupun sebab-sebab lain yang sampai sekarang tak diketahui pasti.
Kondisi-kondisi pemicu itulah yang kemudian membuat VHS bisa aktif lagi dan disebut fase kambuh atau recurrent. Kekambuhan ini bisa terjadi kapan pun dan sewaktu kambuh gejala yang diperlihatkan bisa ringan sekali atau malah kerap tak memperlihatkan gejala klinis sama sekali karena dalam tubuh sudah terbentuk antibodi. Alhasil, yang bersangkutan kerap terkecoh dan menganggap dirinya sudah sembuh. Padahal, sekali terkena, VHS akan selamanya bercokol di tubuh kita. Celaka, kan?
Hanya saja, imbuh Irsyad, faktor pemicunya sangat kasuistik. Artinya, ada yang karena alergi, ada pula karena sebab lain. Begitu juga kapan faktor pemicu tadi memunculkan fase kekambuhan tak bisa dipastikan. Cuma, aku Irsyad, angka kekambuhan pada orang hamil akan meningkat karena kondisi kehamilan sendiri membuka peluang untuk memunculkan kekambuhan. Sebab, selain terjadi perubahan hormonal yang drastis, selama kehamilan tubuh mengadakan perubahan sistem kekebalan. Terlebih bagi ibu hamil yang mengalami stres. Dengan kata lain, ibu hamil memang rentan terkena infeksi VHS.
BISA SEBABKAN KECACATAN
Sebetulnya, tegas Irsyad, VHS tak membedakan wanita dan pria dari belahan dunia mana pun serta tak memandang status ekonomi kaya ataupun miskin.
Hanya saja, dari penelitian yang pernah dilakukan di Skotlandia, misalnya, infeksi VHS hampir tak pernah ditemukan pada orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan angka kejadian pada wanita nakal atau pria yang gemar "jajan", meningkat 10 kali lipat. Itu sebabnya, wanita yang merasa dirinya "bersih" bisa saja tertular dari pasangannya yang bertipe petualang,
misal. Kalaupun si pria begitu yakin dirinya negatif, padahal bisa saja negatif itu lantaran hasil pemeriksaannya kurang akurat atau sebetulnya ia pengidap, namun VHS dalam tubuhnya sedang berada dalam masa laten.
Hingga bisa jadi sistem kekebalan tubuhnya tak memperlihatkan tanda tertentu yang bisa tertangkap oleh pemeriksaan laboratorium.
Nah, ketimbang ribut dan saling menyalahkan, lanjut Irsyad,
suami-istri amat disarankan untuk saling setia pada pasangannya. Selain jangan pernah coba-coba melakukan hubungan seksual dengan wanita/pria di luaran yang bukan tidak mungkin pernah pula berhubungan intim dengan orang lain yang terinfeksi VHS. Runyam, bukan?
Padahal seperti disebutkan di atas, ibu hamil karena kondisi kehamilannya termasuk kelompok yang rentan terinfeksi VHS, baik infeksi primer maupun recurrent. Sementara virus tersebut bisa masuk dalam sirkulasi darah janin melalui plasenta yang menghubungkan ibu dengan janinnya. Bisa juga melalui selaput ketuban, hingga bisa dibayangkan apa jadinya bila ada kebocoran atau malah ketuban pecah. Kemungkinan terjadinya infeksi VHS kian besar.
Celakanya, infeksi VHS pada janin bisa terjadi pada setiap tahapan kehamilan. Mulai dari trimester awal sampai trimester akhir. Di trimester awal, misalnya, secara teoritis di kehamilan usia 0-12 minggu, organ-organ penting sedang terbentuk, hingga kerusakan di masa ini, meski sekecil apa pun, efeknya jauh lebih besar ketimbang kerusakan sama yang terjadi di usia kehamilan selanjutnya. Namun secara umum, infeksi yang terjadi di trimester awal bisa menyebabkan janin mati yang berakhir dengan keguguran.
Sedangkan infeksi yang menyerang di trimester kedua dan ketiga memberi peluang pada janin untuk lahir prematur, kendati biasanya dibarengi dengan berbagai bentuk komplikasi kecacatan maupun kematian begitu dilahirkan. Dari catatan yang ada, lanjut Irsyad, mortalitas atau angka kematian pada bayi yang terinfeksi VHS terbilang tinggi, yakni sekitar 60 persen. Kendati begitu, tidak berarti semua janin yang dikandung oleh ibu yang terinfeksi VHS tak memiliki harapan untuk hidup, lo. Karena sekitar 40 persen sisanya berpeluang besar untuk hidup. Hanya saja 50 persen dari angka sisa janin yang hidup tadi akan mengalami kecacatan.
Bentuk kecacatannya itu sendiri bisa macam-macam. Apalagi infeksi VHS ini memiliki keunikan, yakni memilih daerah sasaran khusus yaitu susunan saraf pusat, organ-organ dalam tubuh, terutama hati dan mata yang bisa menyebabkan kebutaan. Namun, imbuh Irsyad, tak diketahui pasti mengapa VHS hanya memilih tempat-tempat tersebut.
TAK BISA TUNTAS
Deteksi dini VHS pada ibu hamil bisa diketahui dari tanya-jawab apakah ada riwayat kontak seksual dengan penderita/pengidap VHS. Karena bila kontak dilakukan saat penyakit pasangan sedang aktif, yang bersangkutan dipastikan bakal tertular. Sedangkan bila virusnya sedang dalam fase laten, belum tentu yang bersangkutan terinfeksi. Padahal memastikan kapan seseorang berada dalam fase laten atau kambuh, agak sulit mengingat secara klinis keduanya bisa saja tanpa gejala.
Yang bisa dijadikan pegangan sebetulnya adalah pemeriksaan laboratorium, semisal pap smear. Meski sebetulnya pap smear wajib dilakukan setahun sekali oleh wanita yang pernah melakukan hubungan seksual, tak peduli apakah dia terkena herpes atau tidak. Toh, bilang Irsyad, lewat pemeriksaan ini bisa sekaligus terdeteksi karsinoma serviks yang angka kematiannya paling tinggi di kalangan wanita.
Selain itu, lanjut Irsyad, deteksi VHS bisa dilakukan pula dengan biakan jaringan tubuh yang terinfeksi, menggunakan mikroskop elektron atau dengan pemeriksaan imunologis, yakni diperiksa kadar IgG dan IgM-nya. Dari pemeriksaan-pemeriksaan itulah dokter akan memutuskan terapi apa yang akan diberikan untuk ibu hamil yang terinfeksi. "Sayangnya", lanjut Irsyad, "sampai saat ini belum ada obat anti virus yang dapat menyembuhkan infeksi VHS secara tuntas tanpa kambuh-kambuh lagi."
Obat yang kini digunakan biasanya hanya sebatas agar virus yang berada di luar aliran darah, masa hidupnya lebih pendek alias cepat mati. Sementara virus yang sudah telanjur masuk ke dalam aliran darah seolah tak pernah bisa "tersentuh". Dengan begitu kejadian recurrent akan selalu ada.
Itulah mengapa penanganan pada janin (bila sudah terinfeksi) sampai sekarang belum memuaskan karena hanya pengobatan simptomatis alias menghilangkan gejalanya saja. Jenis dan dosis obat, cara, dan lama pemberiannya pun hanya ditentukan oleh dokter dengan memperhitungkan segi efektivitas dan keamanan bagi janin maupun ibunya. Sementara pengobatan lokal yang biasa dilakukan adalah pemberian salep, larutan garam khusus atau kompres rivanol untuk membersihkan bisul yang bernanah.
Tentu saja dalam memberikan terapi pengobatan, dokter akan selalu berpatokan bahwa setiap obat pasti berpengaruh pada janin. Artinya, bila memang memberi manfaat yang lebih besar dibanding efek sampingnya, obat tersebut akan tetap digunakan. Begitu juga sebaliknya.
Yang jadi masalah, hingga saat ini penggunaan obat-obatan untuk menanggulangi herpes, belum diketahui secara jelas efek negatifnya. Artinya, apakah akan merusak/memperparah kondisi janin yang sudah terinfeksi atau tidak. Sementara efek VHS pada janin sudah jelas, yakni 60 persen menimbulkan mortalitas dan 20 persen menyebabkan kecacatan.
Dengan memperhitungkan risiko itulah biasanya obat-obatan diberikan begitu seorang ibu hamil diketahui terinfeksi VHS, tanpa harus menunggu usia kehamilan tertentu. Ini jauh lebih baik dibandingkan bila infeksi tersebut dibiarkan semakin parah. "Jadi, begitu si ibu ketahuan terinfeksi, harus segera ditangani karena dokter pun harus berpacu melawan waktu. Kalau terlambat memberi obat, janin bisa keburu meninggal." TAK PERLU DITUTUP-TUTUPI
Sayangnya, peluang terjadinya kecacatan itu sendiri tidak bisa "diutak-atik" dengan pemberian obat-obatan tertentu karena sampai saat ini memang tidak ada yang bisa memprediksi, bagian tubuh mana pada janin yang diserang VHS dan seberapa parah serangan virus tersebut.
Memang, kecacatan biasanya akan terdeteksi dengan pemeriksaan USG karena kecacatan akibat infeksi umumnya menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Semisal hamil 35 minggu, namun hanya "terbaca" 30 minggu dari pantauan USG.
Manifestasi kecacatannya sendiri bisa macam-macam. Mulai dari kelainan kulit yang luas, kelainan organ tubuh terutama hati dan sistem saraf pusat yang bisa terlihat lewat kejang-kejang tanpa sebab, rendahnya kemampuan berpikir dan keterlambatan fungsi motorik halus dan kasar. Kendati begitu, tegas Irsyad, kehamilan yang disertai kecacatan dalam tingkat separah apa pun, sebaiknya tetap dipertahankan. Bukankah sebagai manusia, si kecil juga punya hak untuk hidup?
Sementara cacat berat yang mempertipis kemungkinan hidup, tetap juga harus didasari banyak pertimbangan bila kehamilan ingin diakhiri. "Enggak segampang membalikkan telapak tangan, karena harus melibatkan banyak ahli yang duduk dalam Komisi Etik Kedokteran. Bahkan dokternya langsung atau si ibu sendiri secara pribadi tak berhak memutuskan untuk menggugurkan kandungannya."
Pada kehamilan yang terinfeksi VHS dan sudah cukup bulan biasanya akan ditempuh tindakan seksio. Sebab, melahirkan spontan lewat vagina/jalan lahir yang terinfeksi justru akan lebih membahayakan janin karena terjadi kontak langsung dengan daerah terinfeksi.
Tentu saja, kata Irsyad, situasi dan kondisi apa pun pada ibu maupun janinnya harus diinformasikan pada pasien. Termasuk kemungkinan kecacatan apa saja yang bakal terjadi. Kalaupun ketahuan janin belum terinfeksi atau terancam bahaya sejauh itu, keluarga pasien tetap harus diberi tahu kemungkinan penularan apa saja yang bakal mengenai bayinya.
Pendek kata, apa pun yang ditemukan lewat berbagai pemeriksaan, tak boleh ditutup-tutupi sama sekali. Hanya saja mengingat hal ini merupakan sesuatu yang sensitif, dokter harus pandai-pandai memilih teknik penyampaiannya. Semisal disampaikan lebih dulu pada suami agar tak kelewat mengejutkan atau membuat si ibu syok berat.
"Pengobatan" Penunjang
Sampai saat ini, terang Irsyad, belum ditemukan makanan dan minuman apa saja yang bisa menangkal serangan VHS. Hanya saja pada mereka yang terinfeksi amat disarankan untuk mengkonsumsi makanan bergizi baik untuk meningkatkan kekebalan tubuhnya. Dalam kondisi prima semacam itu diharapkan ibu hamil tak berpeluang mendapat kemungkinan terburuk yang bakal menimpanya. Karena infeksi ini disebabkan oleh virus yang belum ada obatnya, satu-satunya jalan disarankan menjaga kondisi agar tidak terserang VHS.
Sementara kalau sudah ketahuan terinfeksi, sebaiknya berobat bersama suami/istri dan membatasi aktivitas seksual untuk memperkecil peluang penularannya karena bisa menimbulkan fenomena bola pingpong. Kalaupun tetap ingin menikmati aktivitas seksual amat disarankan untuk menggunakan kondom.
Sedangkan "pengobatan" umum yang disarankan adalah dengan menjaga kesehatan dan higienis tubuh serta istirahat cukup. Jika sudah terinfeksi, jaga daerah infeksi agar tak lembab dan tetap bersih karena kondisi kotor bisa menimbulkan infeksi sekunder. Selain jangan pernah menggaruknya yang hanya akan memperbesar peluang penularan ke tempat lain, bahkan ke orang lain.